Mencari Sesuap Ilmu di Italia (2)

Post ini merupakan lanjutan dari “Mencari Sesuap Ilmu di Italia (1)”

Hari pertama, kuliah perdana

Sebagai mahasiswa Polimi jurusan Automation and Control Engineering, saya mendapat tiga mata kuliah di semester satu ini yang luar biasanya, dua di antaranya terletak di Polimi kampus Bovisa dan sisanya di kampus Leonardo. Mau tahu di mana letaknya?

Bovisa-Leonardo-Rumah
Bovisa (kiri), Apartemen (atas), Leonardo (bawah)

Loh, jadi segitiga sama sisi! Hahaha. Yah, sekalipun di gambar saya tulis jaraknya 6.1 Km, percayalah, jarak perjalanan dari apartemen ke Bovisa maupun ke Leonardo lebih dari 6.1 Km karena rute yang ditempuh nggak berbentuk garis lurus sebagaimana di gambar. Dari apartemen ke Bovisa, rata-rata dibutuhkan waktu 45 menit sementara dari apartemen ke Leonardo dibutuhkan waktu 35 menit. Dari Bovisa ke Leonardo, waktu yang dibutuhkan sekitar 30 menit. Itu belum ditambah dengan waktu untuk menunggu transportasi publiknya!

Dengan rute seperti ini, hari Senin dan Selasa menjadi hari yang sangat melelahkan bagi saya. Pada dua hari tersebut, saya ada kelas pukul 08.00 sampai pukul 12.15 di Bovisa dan pukul 15.00 sampai pukul 18.00 di Leonardo. Mau pulang nanggung, nunggu di kampus juga kelamaan. Biasanya, saya memilih untuk pulang. Seenggaknya bisa bersantai sejenak dan menyantap makan siang dengan tenang.

Terkait dengan makul yang saya ambil ini, dua makul yang di Bovisa ini adalah makul baru yang belum pernah saya temui semasa saya S1. Judulnya “Dynamics of Mechanical Systems” (DMS) dan “Computer Aided Manufacturing” (CAM). Satu makul sisanya berjudul “Model Identification and Data Analysis” (MIDA) yang diselenggarakan di kampus Leonardo. DMS yang salah satu jadwalnya ada pada hari Senin pukul 08.00 membuatnya menjadi makul perdana saya di jenjang S2 ini.

“Apa kesan pertamanya?” tanya salah seorang netizen.

“Saya. Tidak. Paham.” jawab saya.

Begini, mungkin lebih enak jika saya cerita dari suasana kelasnya terlebih dahulu. Makul ini dihadiri oleh lebih dari 100 mahasiswa. Bangkunya disusun bersaf-saf dengan satu baris berisi seingat saya 8-10 bangku. Luar biasanya, 8-10 bangku dalam satu baris ini tidak terpisahkan; Tidak ada celah sama sekali di antara bangku. Artinya apa? Selamat jika anda duduk di tengah baris; Kalau mau keluar, silakan permisi kepada 3-4 orang di sebelah anda!

Selain itu, deretan bangku ini tidak disusun layaknya tribun atau bangku di bioskop. Jadi ya mendatar. Akibatnya? Telat datang = duduk di belakang = cuma bisa liat kepala orang di depan. Plus, kita mungkin bakal kesulitan mendengar suara dari dosennya, khususnya ketika soundsystem-nya sedang bermasalah.

Nah, bisa terbayang ‘kan betapa susah bagi saya untuk dapat bangku depan, mengingat jarak apartemen saya jauh dan butuh waktu 45 menit untuk mencapai kelas ini? Sudah makulnya belum pernah ditemui, di kelas cuma bisa lihat kepala saja! Untungnya bukan itu yang terjadi saat kelas perdana saya. Hahaha.

Yang terjadi adalah saya tetap mendapat bangku yang relatif di depan. Meskipun demikian, tetep saja saya merasa kesulitan untuk dapat mengerti materi yang disampaikan di kelas. Beberapa alasannya adalah sebagai berikut.

Satu, ini pertama kalinya saya kuliah dengan suasana yang benar-benar baru. Saya masih belum tahu apa saja kebiasaan di sini. Lalu, kuliah yang disampaikan dalam bahasa Inggris ternyata juga jadi tantangan buat saya. Bukannya saya nggak bisa bahasa Inggris, tapi kadang dosennya ngomong terlalu cepat jadi saya nggak paham dengan yang disampaikan. Andai bahasanya Indonesia, saya masih bisa nangkep meskipun kecepatan ngomongnya sama.

Lalu yang kedua, materinya baru. Semasa kuliah S1, materi yang saya dapatkan tidak pernah bersinggungan dengan sistem mekanik. Sekalinya belajar sistem mekanik di Polimi, ternyata pendekatan sistem mekaniknya berbeda dengan di Indonesia; mereka menggunakan Lagrangian mechanics, sementara di Indonesia pakainya Newtonian mechanics. Saat dosennya mengajar, beliau berasumsi bahwa mahasiswanya sudah cukup terbiasa dengan Lagrangian mechanics. Jadinya ya susah.

Itu baru makul DMS, saya berharap pada makul CAM agar lebih mudah. Ternyata, nggak juga! Materi yang diajarkan juga relatif baru bagi saya. Dalam makul ini, banyak sekali topik seputar material yang nggak pernah saya temui di Teknik Elektro UGM. Praktis, saya harus belajar dari nol untuk CAM.

Dari kejadian ini, saya jadi tersadar bahwa ternyata untuk menjadi ahli di suatu bidang, kita juga butuh untuk paham ilmu di bidang lain. Ya emang sih, kalo berkaca dari para ilmuwan terdahulu, mereka selalu memiliki ilmu lebih dari satu bidang.

Selain DMS dan CAM, pada semester ini, saya masih ada mata kuliah judulnya MIDA. Alhamdulillah, makul ini sudah pernah saya temui di saat saya S1, judulnya “Identifikasi Sistem”. Sayangnya, dulu saat saya S1, saya nggak begitu paham dengan makul ini, haha. Jadi ya tetap saja, saya harus belajar semuanya dari nol.

Saya pun melalui hari Senin itu dengan terseok-seok. Semua terasa baru (dan susah). Saya sempat khawatir apakah saya sanggup melalui semester ini dengan memuaskan. Boro-boro memuaskan, sebenarnya sih hanya “apakah saya sanggup melalui semester ini?”.

Di hari pertama ini pun, saya nggak banyak kenalan dengan teman-teman baru. Entahlah, tapi dari pengamatan saya, di kelas, banyak yang sudah akrab antara satu dengan yang lain. Orang Italia pada ngumpul dengan orang Italia, orang India pada ngumpul dengan orang India, dan seterusnya. Ya mungkin salah saya juga sih, kurang membuka diri. Kayaknya karena saya terlalu introvert, haha. Walaupun begitu, yang jelas saya berhasil berkenalan dengan beberapa orang meskipun pada akhirnya nggak begitu akrab, hehe.

Nah, dari kuliah perdana hari Senin itu, saya mendapat informasi seputar sistem ujian dan sistem penilaian dari masing-masing makul. Untuk DMS, penilaian didasarkan hanya pada ujian akhir semester. Hanya saja, ujiannya ada dua: written exam dan oral exam. Untuk dapat lulus makul ini, saya harus lulus dalam kedua exam tersebut. Pertama-tama, saya harus memeroleh nilai minimal 18 dalam written exam. Setelah itu, saya harus lulus oral exam. Setelah lulus dua exam tersebut, barulah bisa dinyatakan lulus DMS.

Gimana kalo pas oral exam gagal? Ya berarti harus ngulang exam-nya. Ngulang oral exam saja? Oh tentu tidak! Mahasiswa harus mengulang dari awal lagi, yaitu dari written exam dan ini sangat tidak mudah, seenggaknya untuk saya. Jadi, selain menjawab soal di atas kertas, kita juga harus membuat sebuah program di MATLAB. Untuk saya pribadi, ini tantangan berat karena biasanya otak saya keburu burnout setelah mengerjakan soal di kertas dan butuh waktu rehat sejenak sebelum mengerjakan program di MATLAB. Untungnya, oral exam dilaksanakan pada waktu yang berbeda. Ya iya sih, kan perlu penilaian dari written exam untuk menentukan siapa yang bisa ikut oral exam.

Sementara itu, makul CAM punya sistem penilaian yang sedikit berbeda. Ujiannya hanya berupa oral exam, nggak pakai written exam. Enak? Nggak juga. Supaya bisa ikut oral exam, ada tugas kelompok yang harus diselesaikan. Tugas kelompok ini lumayan berat karena betul-betul menyita waktu luang. Jangka waktunya juga panjang, yaitu satu semester penuh.

Selain menyita waktu, tugas ini juga menentukan nilai maksimal yang bisa diraih. Kalau tugasnya dapat nilai A, berarti nanti saat oral exam, nilai maksimal yang bisa diraih adalah 30. Jika tugasnya dapat B, nilai maksimal yang bisa diraih adalah 27, dan seterusnya.

Untuk makul MIDA, penilaiannya sangat sederhana; hanya berdasar pada ujian akhir saja yang berupa written exam. Nggak ada tugas, PR, ataupun oral exam. Murni ujian akhir saja.

Sekarang, saya ingin bahas seputar sistem ujian di Polimi saat itu. Jadi gini, dalam setahun, mahasiswa diberi lima kali kesempatan ujian untuk masing-masing makul yang waktunya sudah ditentukan. Di akhir semester satu, ada dua kesempatan ujian. Di akhir semester dua, ada tiga kesempatan ujian. Kalo gagal dalam satu kesempatan, bisa dicoba dalam kesempatan lainnya.

Lalu, bisa juga misal untuk makul semester satu, ujiannya baru dilaksanakan di semester dua. Namun, itu artinya kesempatan ujian makul tersebut di semester satu hangus. Kalo dalam setahun kesempatan ujiannya sudah habis, ya berarti harus bayar SPP untuk tahun berikutnya supaya dapat kesempatan ujian lagi. Untuk semester satu dan dua, ini nggak gitu masalah karena sudah pasti mahasiswa bakal bayar SPP untuk tahun ke dua. Yang jadi masalah adalah semester tiga dan empat, yang mana jika kesempatan ujiannya habis, berarti harus bayar SPP untuk tahun ke tiga.

Ujian oh ujian

Hari demi hari berlalu, akhirnya satu semester pun berlalu dan tibalah musim ujian. Musim ujian semester satu ada pada pertengahan bulan Januari hingga akhir bulan Februari. Selama musim ujian itu, terdapat dua kali kesempatan ujian untuk masing-masing makul. Oh iya, khusus untuk makul DMS, dosennya sudah memberi bonus satu kali written exam pada bulan November 2017. Saya ikut ujian waktu itu dan nggak lulus, haha. Sebenarnya memang saat itu belum ada niatan untuk lulus sih, cuma ingin tahu dulu ujiannya seperti apa biar nanti nggak kaget dan bisa atur strategi. Nah, dari situ, saya merasa strategi yang terbaik adalah untuk menggunakan seluruh kesempatan ujian pada setiap makul sampai lulus makul tersebut.

Ujian pun tiba. DMS menjadi ujian pertama saya di bulan Januari itu. Saya pun datang ke ruang ujian sebagaimana frasa dalam bahasa latin: Veni, Vidi, Vici! (Saya datang, saya lihat, saya menang!). Namun, saya cuma sampai frasa kedua, belum sampai frase ketiga. Iya gaes, saya gagal lagi. Gagalnya pun konyol.

Jadi, soal ujian DMS itu ada dua tipe: mudah dan susah. Kalo ambil versi mudah, nilai written exam-nya maksimum 22. Kalo ambil versi susah, maksimumnya 30. Di Polimi memang skala nilainya 0-30, dengan nilai minimum untuk lulus adalah 18.

Nah, waktu saya ujian, saya sempat lihat soal versi susah. “Lho, kok kelihatannya bisa kukerjakan ya?” batin saya. Ngerasa bisa, saya pun coba ngerjakan soal yang versi susah. Naif sekali memang. Sepertinya juga terdorong oleh keserakahan akan nilai. Ternyata betul: kerumitan soalnya baru ketahuan ketika sudah dikerjakan.

Saya coba putar otak ke sana dan kemari. Tetap nggak bisa! Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke soal versi mudah… dengan sisa waktu yang tinggal sedikit. Meskipun mudah, tetap saja menyita waktu dan pada akhirnya, saya nggak bisa menyelesaikan soal versi mudah. Ya sudah, nggak jadi “veni vidi vici”, tapi “veni vidi perdidi”; saya datang, saya lihat, saya gagal. Hahaha.

Saya berusaha untuk stay strong. Sedih sih, tapi ya mau gimana lagi. Kalo berlarut-larut, yang ada malah saya nggak bisa fokus untuk ujian berikutnya: CAM.

Ya, ujian berikutnya adalah CAM dengan model oral exam. Bagi saya, ini pertama kalinya saya ujian dengan bentuk oral exam. Jadi saya masih agak meraba-raba, nanti ujiannya kayak gimana. Yang jelas sih, saya bakal langsung berhadapan dengan dosennya dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang dosen.

Saya pun belajar untuk persiapan ujian CAM. Belajarnya nggak gampang gaes; materi yang harus dipelajari banyak sekali. Bayangkan, dalam makul ini, terdapat 19 bab! Masing-masing bab ada catatan berupa pdf dari powerpoint yang berjumlah rata-rata 50 slides. Coba saja hitung berapa total slides-nya! Hampir 1000 slides!

Lalu, tibalah hari ujian CAM. Di ruang ujian, para mahasiswa berkumpul dengan wajah yang beragam. Ada yang cemas, ada yang tampak percaya diri, ada yang bingung, dan lain-lain. Saya sendiri termasuk yang cemas dan bingung, haha.

Ujian pun dimulai. Satu per satu mahasiswa dipanggil oleh dosen untuk diuji. Saya berusaha mengamati gimana dosennya bertanya dan gimana mahasiswa seharusnya menjawab. Ternyata, tetep nggak ketahuan gimana. Suara dosennya terlalu kecil untuk bisa saya dengarkan. Yang jelas, saya hanya bisa menebak bahwa setelah dosennya mengatakan sesuatu kepada mahasiswa, sang mahasiswa langsung mengambil alat tulis dan menulis sesuatu di selembar kertas.

Tak lama, giliran saya pun datang. Dosen memanggil saya dan saya maju ke depan. Sesampainya di meja depan, saya duduk. Lalu, sang dosen langsung memberikan selembar kertas dan mengatakan kepada saya, “please explain about milling,”. Hah? Instruksinya hanya seperti itu? Milling itu satu bab penuh, pak! Ini selembar kertas untuk apa? Saya mesti gimana?

Bingung, ya saya mulai menjelaskan proses milling dengan kata-kata dan terbata-bata. “Where is the drawing of the milling?” tanya dosen kepada saya. Saya agak lupa sih persisnya beliau ngomong apa, tapi kurang lebih begitu. Intinya, beliau minta saya untuk menggambar secara utuh proses milling. Inilah titik yang mana saya merasa saya sudah the end karena saya nggak bisa. Saya nggak mengira bahwa saya akan diminta menjelaskan tentang suatu bab dari awal, tanpa ada hint sama sekali.

“Can you draw it or not?” Desak sang dosen. Merasa blank dan gugup, saya akhirnya menyatakan bahwa saya nggak bisa. Sang dosen pun mempersilakan saya untuk keluar dan coba lagi pada kesempatan ujian berikutnya. Yak, another day, another failure.

Pada titik ini, tekanan yang saya rasakan semakin tinggi. Walau begitu, saya tetap berusaha untuk tenang. Saya nggak boleh putus asa karena masih ada ruang-ruang ikhtiar yang dapat dioptimalkan. Termasuk salah satunya adalah tidak mengambil ujian MIDA pada ujian kesempatan pertama ini agar ada waktu persiapan untuk DMS dan CAM pada ujian kesempatan kedua.

Itulah yang saya lakukan; saya tidak mengambil MIDA pada kesempatan pertama dan menggunakan waktu yang ada untuk DMS dan CAM. Saya berusaha untuk nggak serakah dengan nilai, yaitu dengan memilih soal versi mudah untuk DMS. Untuk CAM, saya berlatih dengan membuat rangkuman dan mind mapping dari semua bab yang ada.

Alhamdulillah, ikhtiar saya membuahkan hasil yang diharapkan; saya berhasil lulus written exam DMS dan juga oral exam CAM tanpa ada masalah yang berarti. Nilai yang saya dapatkan juga cukup memuaskan. Nggak istimewa memang, tapi seenggaknya nggak buruk-buruk amat. Yang penting LULUS! Hehe.

Lalu, saya coba mengambil ujian MIDA di kesempatan kedua ini. Saya pelajari teori dan konsep yang diajarkan. Alhamdulillah, pada saat itu, saya lumayan bisa memahaminya meskipun nggak seratus persen. Saya pun menghadiri ujian dengan penuh percaya diri…

… yang ternyata harus jatuh lagi karena saya nggak berhasil lulus. Masalahnya begini. Saya memang udah ngerasa paham tapi ternyata banyak printilan kecil yang terlewat. Nah, printilan inilah yang ditanyakan saat ujian. Ya jadi susah kan. Selain itu, kefasihan dalam menghitung dan menggunakan rumus-rumus yang ada juga penting. Kalo nggak fasih atau nggak lancar, biasanya keburu kehabisan waktu. Itulah yang terjadi pada saya saat ujian MIDA.

Waktu itu, ketika membaca soal-soal ujiannya, saya merasa paham dengan apa yang diminta oleh soalnya. Cuma, karena masih belum fasih dalam mengerjakan, ya jadinya agak lambat. Itu pun, akhirnya keliru karena hitung-hitungannya jadi terlalu rumit. Padahal, ada sebuah metode supaya soalnya bisa disederhanakan dan ngitungnya jadi gampang. Memang, kefasihan juga diperlukan selain kepahaman terhadap materi. In the end, saya gagal dalam ujian MIDA dan harus mengulangnya di waktu yang akan datang.

Ternyata, menjalani perkuliahan di luar negeri khususnya Italia ini tidak semudah yang saya bayangkan. Perjuangannya sangat melelahkan; harus kejar materi kuliah plus harus ujian berulang kali sampai lulus. Untungnya, alhamdulillah istri saya sudah nyusul ke Milan pas musim ujian itu. Rasa babak belur digebukin Polimi jadi terasa lebih ringan, meskipun ya tetep sakit, haha.

Istri saya datang awal Januari 2018 berbekal visa turis 90 hari. Karena emang dari awal niat mau pakai penuh 90 hari visa, istri saya bakal pulang nanti akhir Maret. Selama tiga bulan itu, ada cerita-cerita menarik yang akan saya ceritakan pada post berikutnya. Stay tune ya!


One thought on “Mencari Sesuap Ilmu di Italia (2)

Leave a comment